Memperbaiki Citra Islam

http://www.duajurai.com/wp-content/uploads/2015/02/70512bcf-3264-41f5-b84d-aead287dca22_169.jpg

Beberapa waktu lalu saya menghadiri ceramah Karen Armstrong, sarjana Inggris yang dikenal sangat simpatik terhadap Islam. Armstrong diminta berbicara tentang Tantangan Agama pada Abad ke-21. Tapi dalam hampir seluruh uraiannya, dia berbicara tentang Islam dan berbagai persoalan yang dihadapi agama ini. Ceramah yang dihadiri hampi 1000 orang di ballroom sebuah hotel di Singapura itu sangat menawan para hadirin, terutama kaum Muslim yang merasa mendapat teman dan dukungan terhadap iman mereka.

Sejak peristiwa 9/11, pengarang buku laris Sejarah Tuhan itu menjadi juru bicara Islam yang sangat simpatik. Ia diundang berbagai forum untuk menjelaskan sisi lain dari Islam yang kerap diabaikan pengamat dan media massa. Sudah umum diketahui bahwa sejak peristiwa 9/11, citra Islam sangat erat dengan terorisme dan kekerasan. Tugas Arsmtrong adalah menjawabnya bahwa mengaitkan Islam dengan terorisme adalah keliru. Islam adalah agama damai yang tidak mengajarkan umatnya menggunakan kekerasan dan apalagi terorisme dalam berdakwah.

Sejauh menyangkut kampanye perbaikan terhadap citra Islam, Armstrong tidak sendirian. Di dunia akademi Barat, selain Armstrong, ada beberapa nama lagi seperti Montgomery Watt, Edward Said, John Esposito, dan Robert W. Hefner. Para sarjana non-Muslim ini melihat ketidakadilan dalam sirkulasi informasi di dunia selama ini, yakni penyuguhan citra Islam yang begitu buruk. Berita seputar Islam yang dimuat media atau ditulis para sarjana, jika bukan tentang terorisme pasti tentang tindak kekerasan lainnya. Islam seolah-olah identik dengan kekerasan.

Saya ingin menyebut para sarjana Barat simpatik itu dengan “Front Pembela Citra Islam” (FPCI). Bertolak belakang dari front lain yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan dalam berdakwah, FPCI benar-benar mengadopsi cara yang dianjurkan al-Qur’an, yakni dengan ilmu pengetahuan (bil hikmah), pesan baik (mau’izah hasanan) dan argumen yang kokoh (wa jadilhum billati hiya ahsan). Hal ini mereka lakukan bukan hanya dalam forum-forum ilmiah, tapi juga dalam karya-karya tulis.
Karen Armstrong, misalnya, menulis sejumlah buku tentang Islam. Di antaranya adalah Islam: A Short History dan Muhammad: A Biography of the Prophet, di mana dia menguraikan tentang Islam dan Nabi Muhammad dengan sangat menawan. Lewat penelitian yang mendalam terhadap sejarah Islam, Armstrong berusaha menjelaskan sisi-sisi manusiawi Nabi Muhammad tanpa kelihatan berapologi tapi juga tidak menohok, seperti yang biasa dilakukan beberapa Orientalis Barat. Armstrong tidak menafikan bahwa ada banyak peperangan dalam sejarah Nabi, tapi hal itu tidak boleh dipisahkan dari dinamika kehidupan yang dijalani Nabi.

Menurut Armstrong, seperti yang ia jelaskan dengan sangat baik dalam the Battle for God, perang atas nama agama bukanlah unik milik Islam saja, tapi juga ada pada semua agama. Fundamentalisme modern yang berpuncak pada aksi-aksi teror baik dalam Yahudi, Kristen, dan Islam, sesungguhnya adalah ekspresi perlawanan terhadap dunia yang sekular dan anti-Tuhan. Modernitas yang begitu mengandalkan rasionalitas dianggap berbahaya bagi agama yang bersandar pada iman. Kaum beragama yang terus-menerus merasa terancam akan melakukan serangan balik (backlash) terhadap simbol-simbol modernitas, termasuk di antaranya gedung komersial, stasiun kereta api, dan kafe-kafe.

Para sarjana non-Muslim itu tentu saja tidak sendirian. Kaum intelektual Muslim di dunia Barat juga berusaha melakukan perbaikan terhadap citra Islam yang selama ini telah dikotori para teroris dan kelompok-kelompok yang mengklaim sedang membela Islam (padahal sebenarnya sedang merusaknya). Para sarjana seperti almarhum Fazlur Rahman, Abdullahi Ahmed al-Naim, Khaled Abu el-Fadl, Moqtader Khan, dan dalam tingkat tertentu Irshad Manji, bisa dimasukkan dalam daftar FPCI sejati.

Hanya saja berbeda dari para sarjana Barat non-Muslim, para sarjana Muslim tak hanya berhenti pada pembelaan terhadap citra Islam, tapi juga melakukan koreksi terhadap perilaku kaum Muslim dan beberapa doktrin Islam yang dianggap keliru. Fazlur Rahman misalnya, sambil mengkritik Orientalis, dia tetap kritis terhadap beberapa perilaku kaum Muslim yang dianggapnya salah dalam memahami Islam. Lebih jauh lagi, Rahman bahkan mengkritik beberapa doktrin Islam yang dianggapnya tidak lagi relavan dengan kehidupan kaum Muslim modern.

Di Indonesia, saya melihat semakin banyak tumbuh gerakan Islam yang dipelopori generasi muda. Mereka datang dari latarbelakang santri dan memiliki latarbelakang keilmuwan Islam yang kuat. Gerakan ini berusaha mengkonter orang-orang yang sering me(nyalah)gunakan Islam untuk kepentingan politik dan ideologis mereka. Lewat wacana pemikiran, para generasi muda ini berusaha memperbaiki citra Islam yang bopeng akibat perilaku para teroris dan pendukungnya.
Islam yang dihadirkan oleh apa yang kerap disebut gerakan pembaruan atau gerakan Islam liberal ini adalah Islam yang damai, yang toleran, pro-demokrasi, dan mendukung semangat kebebasan sipil. Berbeda dari Islam kaum teroris dan pendukungnya, kaum Muslim liberal meyakini bahwa ajaran-ajaran Islam cocok dengan tantangan dunia modern, bisa berinteraksi dengan Barat, dan bisa bekerjasama dengan dunia internasional.

Tidak ada cara lain untuk memperbaiki citra Islam kecuali dengan mengembangkan wacana seperti selama ini didukung kelompok-kelompok Islam liberal, baik yang ada dalam Muhammadiyah, NU, maupun organisasi-organisasi Islam lainnya. Tema-tema seperti pluralisme, liberalisme, hak-hak perempuan, dan kebebasan sipil, adalah tema-tema yang dapat membantu memperbaiki citra Islam yang selama ini terkait erat dengan kekerasan, bom bunuh diri, penculikan, dan pengrusakan kafe. Sudah saatnya kaum Muslim memperbaiki citra Islam dengan cara mengubur dalam-dalam wacana primitif yang dikembagkan para teroris dan pendukungnya.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment

Social Media