Mengapa Marak Kekerasan Atas Nama Agama?

"Kalau kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kei, dan Sulawesi, akan memisahkan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian wilayah Indonesia, tidak ingin menjadi bagian Republik.

Bukan satu, bukan tiga, bukan ratusan, tapi ribuan orang Kristen gugur dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Apa yang diinginkan dari harapan umat Kristen? Haruskah kita tidak menghargai pengorbanan mereka?

Harapan mereka bersama-sama menjadi anggota dari rakyat Indonesia yang merdeka dan bersatu. Jangan pakai kata-kata “minoritas,” jangan sekalipun! Umat Kristen tak ingin disebut minoritas. Kita tidak berjuang untuk menyebutnya minoritas. Orang Kristen berkata: 'Kami tidak berjuang untuk anak kami disebut minoritas.'

Apakah itu yang kalian inginkan? Apa yang diinginkan setiap orang adalah menjadi warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu sama dengan saya, dengan ulama, dengan anak-anak muda, dengan para pejabat, setiap orang tanpa kecuali: setiap orang ingin menjadi warga negara Republik Indonesia, setiap orang, tanpa memandang minoritas atau mayoritas
."

Pidato Presiden Soekarno, 7 Mei 1953, kampus Universitas Indonesia, Jakarta.


Human Rights Watch meluncurkan laporan soal kekerasan terhadap minoritas agama di Jakarta pada 28 Februari 2013.
Human Rights Watch meluncurkan laporan soal meningkatnya pelanggaran terhadap minoritas agama di Indonesia bersama wakil direktur Asia Phelim Kine, Dewi Kanti dari Sunda Wiwitan serta Ahmad Masihuddin dari Ahmadiyah, di Jakarta. Laporan tsb diberi judul In Religion's Name: Abuses against Religious Minorities in Indonesia atau, dalam versi Bahasa Indonesia, Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia.

Phelim Kine menerangkan bahwa penelitian Human Rights Watch menemukan meningkatnya pelanggaran terhadap minoritas agama di Indonesia. Dia menyitir data dari Wahid Institute, Setara Institute, maupun Kontras, yang menunjukkan makin tahun makin banyak penyerangan terhadap kaum minoritas, termasuk Bahai, Kristen serta minoritas Muslim Ahmadiyah dan Syiah maupun agama-agama leluhur macam Sunda Wiwitan. Baik berupa penyerangan fisik, pembakaran, penutupan rumah ibadah maupun diskriminasi dalam urusan administrasi negara, pendidikan dan pelayanan sosial. Pew Forum menaruh Indonesia dalam kategori "sangat tinggi" soal social hostilities index yang melibatkan agama. Indonesia ranking ke-15 dari 197 negara.
Persoalannya, ia dimungkinkan karena di Indonesia ada beberapa aturan yang diskriminatif terhadap minoritas agama termasuk pasal penistaan agama (1965), aturan soal pendirian rumah ibadah (1969 dan 2006), hukum Administrasi Kependudukan (2006), maupun keputusan anti-Ahmadiyah (2008). Mereka merugikan dan mempersulit minoritas agama. Mereka senantiasa dipakai oleh golongan-golongan militan untuk menyerang minoritas agama. Pada zaman Soekarno dan Soeharto, militansi tersebut tak berkembang pesat karena kekuasaan otoriter kedua president tersebut, dari 1945 hingga 1998. Keadaan berubah sesudah Soeharto mundur dari kekuasaan dan ruang politik dibuka lebih lebar.
Ahmad Masihuddin dari Ahmadiyah
Dalam laporan 107 halaman tersebut, Human Rights Watch juga menjelaskan keberadaan dan kiprah empat lembaga negara, serta semi-negara, yang memfasilitasi diskriminasi kepada minoritas agama. Salah satu indikator dari lembaga yang sektarian adalah pendekatan "mayoritas-minoritas" mereka. Mereka terdiri dari Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), Majelis Ulama Indonesia serta apa yang disebut Forum Kerukunan Umat Beragama. Laporan tersebut menerangkan sejarah pendirian keempat lembaga tersebut. Kementerian Agama didirikan  zaman Perdana Menteri Sutan Sjahrir (1946), cikal bakal Bakor Pakem didirikan zaman Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo (1952), Majelis Ulama Indonesia oleh Presiden Soeharto (1975) serta Forum Kerukunan Umat Beragama oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2006).

  
Dewi Kanti dari Sunda Wiwitan cerita soal diskriminasi terhadap penganut "agama leluhur" di Indonesia. Mereka tak bisa mencantumkan agama mereka di KTP maupun Kartu Keluarga. Dampaknya, pernikahan mereka tak diakui negara, thus anak-anak mereka juga secara hukum dianggap anak haram. 
Infrastruktur ini membuat kekerasan terhadap minoritas agama diberi peluang di negara Indonesia. Para pelaku, yang main hakim sendiri, juga bisa berkelit dengan alasan legal. Ia dibiarkan karena ada keterlibatan pejabat daerah maupun aparat keamanan. 
Berbagai contoh diberikan dalam laporan tersebut. Mulai dari penyerangan terhadap kaum Ahmadiyah di Cikeusik --hanya 12 pelaku diadili dan dihukum 3-6 bulan penjara-- hingga kasus GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia --sudah dapat keputusan Mahkamah Agung namun ditolak oleh pemerintah. 
Human Rights Watch memakai pendekatan multimedia. Dalam versi asli, bahasa Inggris, mereka mengeluarkan siaran media (ringkasan), laporan sepanjang 107 halaman serta video empat menit dan slide show (15 gambar). Mereka juga mengeluarkan laporan dalam terjemahan Bahasa Indonesia serta Arab. Siaran pers dibikin dalam tujuh bahasa: Arab, Indonesia, Inggris, JepangMandarinPerancis, dan Spanyol.  
Mengatasinya bagaimana?
Ia bukan persoalan mudah karena infrastruktur tersebut sudah dibangun selama 60 tahun. Human Rights Watch menganjurkan pendekatan paling sederhana: zero tolerance terhadap semua pelaku kekerasan atas nama agama. Ini mensyaratkan polisi, jaksa, hakim dan semua aparat pemerintahan daerah menjalankan hukum. Langkah lebih jauh, tentu saja, melakukan evaluasi terhadap semua produk hukum yang diskriminatif terhadap kaum minoritas. 
Saya kira cara terbaik untuk mempelajari penelitian Human Rights Watch dengan membaca laporan tersebut, termasuk perdebatan soal mayoritas-minoritas yang mendorong Presiden Soekarno bikin tanggapan pada 1953. Bila waktu terbatas bisa dengan menonton video dan slide show
Ada lebih dari 70 wartawan dan pengamat datang dalam peluncuran laporan Human Rights Watch.
Penelitian ini diliput berbagai media internasional, nasional maupun lokal, dari Kyodo hingga Associated Press, dari Kompas hingga Lampung Post. Beberapa media, termasuk Jakarta Globe dan Tempo, menulis editorial soal laporan Human Rights Watch. Saya juga mengumpulkan puluhan liputan media dari peluncuran tersebut. Saya hanya bisa mengerti dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Anda bisa juga memahami laporan Human Rights Watch dengan membaca liputan media tersebut.

***
Previous
Next Post »
Thanks for your comment

Social Media